TUMBUH
Pagi pun menjelang, pak tua terbangun dan membuka
matanya, menghirup udara segar pagi hari lalu bangkit dari tempat tidurnya.
Para cahaya kecil pun ikut terbangun dari tidurnya lalu menghampiri dan
mengelilingi pak tua itu. Seperti biasa mereka selalu melakukan rutinitas bernyanyi
di pagi hari sebagai bentuk menyambut telah datangnya pagi.
“Dengarlah burung-burung bernyanyi”
Menyambut
pagi
Rasakan
sejuk udara embun pagi
Membuka
mata kita
Biarkan
wajah terusap air
Sikatlah
gigi keatas kebawah
Hingga
bersih
Kenakan pakaian
mu tersenyum
Dan mari
kita sambut pagi dengan
Salam
“Selamat pagi”
Pak tua itu bernyanyi bersama para cahaya kecil yang
gembira menemaninya sambil menari-nari mengelilinginya. Sesudah pak tua itu
siap, ia melangkah menuju pintu rumahnya dengen peralatan berkebun milik nya.
Pak tua memiliki kebun yang indah, ditanami beberapa tanaman dari buah-buahan
hingga beraneka ragam jenis-jenis bunga. Pak tua itu segera mempersiapkan alat
berkebunnya dan mulai merapikan tanaman buah-buahan dan para cahaya kecil
bahu-membahu mengambil air untuk menyiram bunga-bunga yang cantik dan
warna-warni, selagi mereka menyiram bunga, pak tua membersihkan tanaman liar
yang tumbuh disekitaran kebun dan memetik buah-buahan yang sudah siap dipanen.
Sambil bersenandung dan bersiul yang terdengar dari suara pak tua itu, mereka
terlihat begitu gembira dan menikmati aktivitas berkebun karena hasil dari
kebun bisa digunakan untuk dimakan dan juga bisa untuk menghias rumahnya,
bahkan pak tua juga menjual beberapa hasil dari perkebunannya.
Setelah buah-buahan dipetik dan seluruh tanaman
telah disiram dan matahari pun sudah terasa panas terik, berada tepat diatas
kepala, bertanda hari sudah mulai siang para cahaya kecil membantu pak tua
dengan mengangkat keranjang buah-buahan ke dalam rumah setelah semua buah sudah
dicuci oleh pak tua. Pak tua memutuskan beristirahat dibawah pohon kesukaannya
yang memiliki batang dan dedaunan yang rindang menyejukkan, pohon ini juga
memiliki buah yang sedikit mirip dengan buah ceri, berwarna merah dan menyala
seperti seperti mengeluarkan cahaya dari bagian dalam buahnya. Setelah menaruh
keranjang buah kedalam rumah para cahaya kecil segera bergabung dengan pak tua
yang sedang menikmati minum nya dibawah pohon yang disebut pohon “Agramor”,
pohon yang memiliki buah yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit dan
konon siapa yang memakan buah ini akan memiliki kekuatan maha dahsyat. Pak tua
adalah salah satu penjaga pohon Agramor, jangan sampai kemampuan buah Agramor
yang maha dahsyat dimakan oleh orang yang salah karena kekuatan buah Agramor
ini bisa menghancurkan negri “Neohport”
Selagi mereka sedang beristirahat dibawah pohon
Agramor, terlihat seseorang berjalan menuju kearah mereka, salah satu cahaya
kecil bergerak-gerak seolah sedang memberitahukan pak tua ada seseorang yang
berjalan menghampiri mereka, pak tua itu pun melihat kearah datangannya
seseorang pria pengembara itu yang mengenakan jubah hitam dan tutupan kepala
dari jubahnya, pak tua pun berdiri untuk menyambut kedatangannya karena pengembara
itu langsung berjalan mengarah kepadanya dan si cahaya kecil berwarna ungu yang
tadi memberi tahukan kehadiran orang asing itu, bergerak menghampirinya dan
mengelilingi orang asing itu untuk memastikan apa dia berbahaya atau tidak.
Pria misterius itu langsung bertanya “Selamat
siang.. Saya mencari seseorang yang memiliki pohon ini, apa anda bisa membantu
saya?”
Para cahaya kecil berputar mengitari pria
misterius itu dengan terlihat begitu agresif hingga ada beberapa yang menabrak
tubuh pria misterius itu, tentu saja itu si cahaya kecil berwarna kuning yang
selalu ceroboh, pria misterius itu tetap berdiri tegap dengan tatapan menghadap
pria tua yang berdiri didepannya, karena pria tua itu melihat tingkah para 7 cahaya
kecil sudah mengganggu pria misterius yang sesungguhnya ia pun tidak pernah
melihat wajah disekitar para penghuni
hutan, pria tua menyuruh para cahaya kecil untuk tidak mengganggu pria
misterius itu sambil berkata kepadanya
“Ya.. Bila anda tidak keberatan, perkenalkan diri
anda maka saya akan menjawab pertanyaan anda dengan senang hati dan saya akan
lakukan yang terbaik untuk membantu anda”
Dengan begitu misteriusnya pria itu tetap terlihat
seperti orang yang memiliki sikap pria terhormat, ia memperkenalkan dirinya
dengan tatakrama yang baik kepada pria tua “Perkenalkan nama saya “Karamus” – saya hanya seorang pria
pengembara yang mencari bahan-bahan untuk obat-obatan saya, karena disebuah
hutan dalam perjalanan saya melewati tempat yang sedang terjangkit wabah
penyakit mematikan.” “Bagaimana anda bisa tau tentang pohon Agramor ini karena pohon ini tidak bisa
tumbuh begitu saja dan ini satu-satunya pohon Agramor yang tersisa diseluruh
belahan hutan di negeri ini.” Sambil membuka tudung kepala jubahnya Karamus
memberi tahu kepada pria tua itu
“Suatu hari saya mencoba mencari informasi tentang
jenis wabah penyakit itu di perpustakaan kota, saya menemukan catatan sebuah
pohon yang sangat melegenda, bahkan saya sempat bertanya kepada orang disekitar
situ, belum pernah ada yang melihatnya.”
“Lalu bagaimana akhirnya anda mengetahui tempat
ini?”
“Saya mendatangi sorang penyihir, ia berkata ikuti
hembusan angin menuju utara, bila arah saya benar saya akan menemukan tiga
rintangan. Awalnya saya berfikir hanya akan menemukan rintangan berupa medan-medan
yang sulit untuk dilalui tapi ternyata tidak hanya itu, saya bahkan dan harus
berhadapan dengan makhluk besar yang begitu kuat dan saya harus melaluinya
dengan tidak membunuhnya seperinya yang di perintahkan oleh penyihir, selain
itu saya ini seorang penyembuh, saya memperjuangkan nyawa seseorang untuk tetap
hidup bukan malah sebaliknya saya mengambil nyawa mahluk hidup yang satu demi
menyelamatkan mahluk hidup yang lainnya.” Pria tua itu menghentikan cerita
Karamus untuk memintanya mengikutinya masuk kedalam rumahnya karena pria tua
itu berfikir Karamus pasti kelelahan setelah perjalanan dia yang jauh untuk
sampai kehutan ini, memang bukan perkara yang mudah untuk datang kehutan ini
“Baiklah.. tahan dulu cerita mu, mari ikut saya
kedalam rumah, saya mempunyai sedikit makan dan minuman yang bisa anda santap
sambil bercerita karena saya tau perjalanan anda pasti cukup melelahkan.”
Karamus-pun mengikuti pria tua dan bersama-sama
berjalan kedalam rumahnnya sambil membawa peralatan berkebunnya. Para tujuh
cahaya kecil pun mengitari Karamus yang berjalan dibelakang pria tua itu dengan
rasa yang masih mencurigai Karamus.
“Para cahaya kecil ini milik anda?”
“Mereka tinggal dengan saya, mereka adalah sahabat
saya yang selalu menemani saya kapan-pun dan dimana-pun. Tidak perlu khawatir
mereka anak-anak baik, mereka hanya sedang tertarik dengan kedatangan-mu, orang
yang belum pernah mereka lihat.” Pria tua itu berjalan sambil menoleh
kebelakang dengan senyuman kearah Karamus.
Suara pintu rumah terdengar sedang dibuka oleh
pria tua itu, sebelum masuk kerumahnya pria tua itu meletakan peralatan
berkebunnya disamping pintu rumah. Karamus masih berada tepat di belakang pria
tua itu mengikuti masuk kedalam rumahnya begitu pula dengan para cahaya kecil
ikut masuk kedalam rumah, sampai-sampai salah satu dari mereka si cahaya biru
menabrak pintu rumah karena sambil bercanda berdesakan masuk kerumah dengan
saudara-saudaranya.
Karamus begitu takjub melihat isi dalam rumah pria
tua itu yang dipenuhi dengan aneka ragam benda-benda ajaib dan aneh, seperti
tempat tidur para cahaya kecil yang terlihat olehnya seperti bentuk sangkar
burung yang terbuat dari serah-serat batang pohon yang bersinar mengeluarkan
cahaya warna-warni. Cahaya biru yang masuk paling terakhir setelah menabrak
pintu terlihat agak sedikit sempoyongan, ia bergerak menghampiri
saudara-saudara tapi alhasil karena ia masih sempoyongan ia pun menabrak
Karamus dan terjatuh ke lantai. Karamus yang merasakan hentakan dipundak kiri
belakangnya menoleh dan melihat si cahaya biru terjatuh, segera Karamus jongkok
untuk membantu si cahaya biru lalu mengangkatnya dengan kedua tangannya. Para
cahaya kecil yang lain terkejut melihat Karamus yang membantu si cahaya biru
dengan kedua tangannya, seketika itu pula si ungu menghapiri dan langsung
bergerak menyerang tangan Karamus dengan percikan cahayanya yang dapat
mengalirkan energi yang terasa seperti tersengat. Karamus pun terhentak kaget
karena sengatan si cahaya ungu yang berniat melindungi si biru, ungu takut
kalau Karamus bisa saja menyakiti saudaranya. Karamus pun melepaskan cahaya
biru dari kedua telapak tangannya. Seketika itu pula pria tua yang melihat
kelakuan para cahaya kecil menegur para cahaya itu dan meminta mereka untuk
bersikap ramah kepada Karamus
“Heyy!!! Jaga sikap kalian kepada tamu kita!!!”
para cahaya kecil itu pun menghentikan penyerangannya kepada Karamus, yang
sesungguhnya hanya si ungu yang melakukan penyerangan dengan mengeluarkan
percikan cahayanya, sedangkan yang lain hanya mendekati tangan Karamus dan
mengelilinginya saja. Para cahaya lain tidak terima dan memarahi si ungu karena
mereka jadi ikut disalahkan. Setelah menegur para cahaya kecil ia mempersilakan
Karamus
“Silakan duduk pengembara.” Sambil menolah-noleh
melihat seisi rumah ia berkata
“Rumah anda sungguh mengesankan, banyak sekali
benda ajaib” lalu Karamus menarik kursi dari meja yang terlihat seperti meja
makan dengan buah-buahan yang tersedia diatas meja dan pria tua itu berjalan
menghampirinya dengan membawa segelas air minum untuk Karamus
“Silakan diminum sebelum anda melanjutkan cerita,
jangan sungkan-sungkan silakan dinikmati buah-buahan yang ada, ini semua hasil
dari kebun saya sendiri, masih sangat segar!!” Karamus dengan lahap langsung
menyantapnya, begitu enak sekali semua buah – buahan yang dicoba, sampai –
sampai ia kehabisan kata – kata. Pria tua itu kembali bertanya keapa Karamus
“lalu.. apa yang ingin kau tanyakan?” Karamus pun
berhenti mengunyah makanan nya
“iya.. sesungguhnya saya kesini ingin menanyakan
tentang pohon Agramor, apa kah benar ia dapat menyembuhkan segala macam
penyakit?” “untuk apa kamu sangat menginginkan buah Agramor?”
“seluruh desa saya sedang diserang oleh wabah yang
misterius, saya berusaha untuk menyembuhkannya tapi semua cara yang saya
lakukan tidak ada satu pun yang berhasil. Tak lama saya mendengar rumor ada
seorang penyihir yang mengetahui letak pohon ajaib. Awalnya saya percaya dengan
rumor itu, hingga saya menemukan penyihir tersebut dan ia menceritakan
segalanya kepada saya tentang ada nya pohon itu tapi saya harus melewati
rintangan untuk melewati hutan Agramor, ada tiga rintangan yang berupa mahluk –
mahluk penjaga hutan, mereka adalah batu, air dan udara.”
“bagaimana akhirnya kau berhasil melewati mereka
tanpa membunuh atau menyakiti mereka? Karena bila diantara mereka ada yang
terbunuh maka kamu akan kembali ke titik awal sebelum kamu memasuki hutan
Agramor dan bagaiman juga kamu bisa tau bahwa pohon itu adalah pohon Agramor?”
pak tua itu bertanya sambil memasukan tembakau kedalam pipa hisapnya.
“Pada saat saya pertama kali memasuki hutan terasa
tenang dan seperti tidak akan adanya kendala dalam perjalanan saya tapi semakin
saya memasuki hutan saya menemukan sebongkah batu yang begitu besar, saya kira
itu hanya batu biasa, tiba – tiba semua batu kecil yang ada disekitar situ
bergerak menghampiri batu besar itu dan menyatu sehingga menjadi sesosok mahluk
besar. Saya memperhatikan nya hingga mahluk itu berdiri dan menatap kearah
saya, ia pun mengayunkan tangannya untuk menyerang saya, saya berusaha
menghindari semua serangan mahluk tersebut. Tebasan mahluk itu sungguh kuat,
apa pun yang mengenai tebasan tangannya hancur, pohon yang terkena hembusan
angin dari kibasan tangan nya pun akan tumbang. Saya hanya berlari
disekitarannya untuk menghindari serang mahluk tersebut, tak lama setelah saya
memperhatikan mahluk itu dari balik pohon tempat saya berlindung dan
bersembunyi, saya melihat kejanggalan pada tangan kirinya yang tidak sempurna,
seperti ada bagian yang hilang dari nya.” Suara kemiricik tembakau yang
terbakar terdengar dari pipa pria tua itu yang sedang menghisap pipanya.
“ada bagian yang hilang dari tangan kirinya, saya
berusaha untuk mencarinya, hingga terdengar suara dari dalam salah satu pohon
disekitar. Saya telusuri dari mana asal suara tersebut sambil terus menghindari
serangan mahluk itu, bukan perkara yang mudah untuk saya. Setelah saya
menemukan letak pohon yang mengeluarkan suara seperti terketuk – ketuk dari
dalam, benda apa pun yang ada disekitar saya jadi kan alat untuk menghancurkan
batang pohon itu hingga saya melihat bagian dalam yang berisikan sebuah batu
yang berusaha keluar dari dalam, seketika itu batu itu terbang mengarah ke
mahluk batu besar tersebut. Pada saat mereka bersatu mahluk itu pun jauh lebih
tenang.” Pria tua itu menuangkan lagi air kedalam gelas Karamus sambil menyimak
ceritanya yang begitu bersemanagat menceritakan pengalamannya dalam perjalanan
menuju hutan Agramor.
“terima kasih” ujar Karamus karena telah
dituangkan air untuk dia minum.
“lalu apa yang terjadi setelah itu?” Tanya pak
tua, Karamus yang sedang menegug minumnya, setelah ia menaruh gelasnya, ia pun
meneruskan ceritanya
“saya mengahapiri mahluk tersebut karena saya
melihat ia sudah mulai tenang, didekatnya saya berusaha memperhatikan nya dan
begitu pula dengan mahluk itu yang memperhatikan saya lalu membungkukan
tubuhnya untuk lebih mendekatkan jarak melihat saya. Awalnya saya begitu tegang
dan terpaku diam, ia mengulurkan tangan kirinya dan membuka genggamannya, saya
melihat ada sebuah batu berbentuk segi tiga yang menyala dari tangannya, saya
mengambilnya dan seketika itu pula batu – batu dari mahluk besar itu terjatuh
kembali menjadi batu pada umumnya, tidak bergerak dan tidak dapat terbang.”
Keberhasilan Karamus menaklukkan monster batu dan
medapatkan sebongkah batu kecil bercahaya berberbentuk kotak membuatnya dapat
melanjutkan perjalannya mencari letak keberadaan pohon Agramor. Hutan ini
memang bernama hutan Agramor, namun belum pernah ada yang berhasil menemukan
pohon tersebut karena katanya hutan ini ditutupi oleh selaput ajaib yang tidak
terlihat dan belum pernah ada juga yang berhasil masuk sampai ke bagian ujung
dari hutan Agramor, ya… karena seklai lagi adanya makhluk – makhluk penjaga
hutan yang selalu mempersulit para pemburu hutan Agramor ketika mereka sedang
berburu binatang ataupun pohon Agramor itu sendiri, paling hanya sekedar
pencari buah – buahan dan tumbuhan yang tidak pernah mendapat gangguan dari
para penjaga hutan. Hutan Agramor memang terkenal sebagai hutan yang paling
subur dan disukai para binatang untuk mereka tinggali ataupun hanya untuk
sekedar berlindung. Hutan itu pun sungguh lebat karena tumbuhan disana tumbuh
dengan sehat dan besar – besar.
Dalam perjalanannya melewati hutan, ia mengalami
sedikit kesulitan karena lebatnya tumbuhan yang ada di hutan Agramaor tapi
diperjalananannya mengarungi belantara hutan Agramor Karamus menemukan beberapa
tumbuhan – tumbuhan langka sebagai bahan – bahan racikan untuk melengkapi
koleksi obat – obatannya. Dengan penuh semangat dan gairah, ia memetik beberapa
jamur dari pinggiran
akar – akar pohon besar, juga tidak ketinggalan
dedaunan dari
ranting – ranting tanaman. Ada kala nya ia harus
sedikit berjuang untuk mengambil beberapa daun yang berada di ketinggian,
bahkan ia pun harus sampai memanjat pepohonan untuk menggapai ketinggian
tersebut. Tidak jarang ia tergelincir pada saat memanjat pohon yang ternyata
memiliki selaput yang begitu licin, padahal batang – batang pohn itu terlihat
kesat dan memiliki pegangan yang kokoh.
Selama pencariannya, Karamus berjalan menelusuri
hutan Agramor dan tanpa sadar ia pun sudah berada di pinggiran sungai yang
airnya begitu jernih sehingga ikan – ikan dan makhluk air lainnya dapat
terlihat dari permukaan.
“Air ini sungguh jernih, sayang kalau aku
lewatkan” ucap Karamus yang sedang kelelahan setelah mengumpulkan bahan – bahan
obat – obatannya, ia pun mengambil air dari sungai dengan tangannya lalu
meminum air dan membasuh wajahnya untuk menghilangkan dahaga dan juga
menyegarkan dirinya. Sejenak ia terduduk diatas bebatuan sekitaran sungai sambil
menikmati suasana disana
“sungguh, hutan ini sangat asri karena belum
sering terjamah oleh manusia”. Suara – suara binatang penghuni hutan pun
seperti tidak malu menyarakan keberadaan mereka, ditambah suara air yang
mengalir membuatnya merasa begitu tenang. Ia menikmati siang di tepian sungai
sambil mengeluarkan sepotong roti dan keju, ia melahap makanannya tanpa ragu
sambil berpikir arah mana yang harus ia lalui untuk melanjutkan perjalannya
mencari pohon Agramor.
Tidak ada pilihan lain selain menyeberangi sungai
untuk melanjutkan perjalanan. Setelah bekal makanan yang ia bawa habis dimakan,
ia mencoba mencari cara untuk menyeberangi sungai itu, memang sungai itu
terlihat tenang tapi Karamus tau bahwa sungai itu dalam dan memiliki arus yang
kuat didalamnya. Karamus melihat sekitarnya dan berpikir apakah ada benda yang
bisa digunakan, ia pun menemukan batang pohon yang dapat digunakan untuk
meloncati sungai, yang berujung patah sebelum ia berhasil berada dipuncak
loncatan “Sialan…! Batang ini tidak cukup kuat menahan berat tubuhku” ujar
Karamus yang sedang berusaha bangkit dari jatuhnya, dengan kesal ia mengambil
sebongkah batu dan melemparnya ke sungai. Pada saat batu itu menyentuh
permukaan sungai, anehnya batu berbalik mengarah ke Karamus dan mengenai
kepalanya. Sambil kesakitan, Karamus – pun terheran – heran
“Mengapa bisa batu itu memantul balik kepadaku?!”
ujar Karmus yang masih mengusap – usap dahinya yang terkena pantulan batu tadi.
Air sungai itu tiba – tiba bergemuruh, arusnya bergerak tidak tenang sampai
membuat percikan besar yang semakin lama semakin besar dan meninggi. Sontak
Karamus pun terduduk jatuh melihat air sungai yang meninggi dan bergerak –
gerak dengan sendirinya. Sambil bergeser mundur Karamus memutar badannya untuk
berlari mencari tempat berlindung. Ia memiliki perasangka kalau air itu akan
berubah menjadi makhluk penjaga hutan. Di balik pohon tempat ia berlindung,
Karamus berfikir untuk melarikan diri dari makhluk itu. Ia pun melangkahkan
kakinya dan mulai berlari. Namun, ketika ia sedang berlari, terlintas di
pikirannya bahwa ia perlu menghadpi makhluk tersebut, seperti yang telah
dikatakan oleh penyihir tentang adanya rintangan tiga makhluk penjaga hutan
Agramor.
Karamus – pun mencari tempat berlindung untuk
mecari cara menghadapi makhluk air penjaga hutan tersebut. Namun makhluk air
melihat Karamus. Sementara itu badan makhluk air semakin membesar dan makhluk
itu mengeluarkan bola air yang melesat kearah Karamus. Karamus pun dengan cepat
menghindar dari serangan itu. Dari satu pohon kepohon yang lain – nya, dalam
usahanya menghindar, Karamusmelihat benda bercahaya yang berada di tengah
bagian tubuh makhluk air itu. Karamus mencoba melempar benda bercahaya itu
dengan batu yang ia temukan di sekitarnya. Dengan harapan dapat mengenai
pusatnya.
Percobaanpertama tidak berhasil, Karamus terus
mencoba berulang kali, sementara makhluk air – pun juga terus menyerang
Karamus. Dalam upayanya menghindari serangan makhluk air, Karamus tersandung
oleh akar pohon dan membuatnya terpelanting karena terkena serangan bola air
dari makhluk penjaga hutan yang membuat tubuhnya terbentur pohon. Karamus
hampir tidak sadarkan diri, benturan itu begitu keras dan hampir membuatnya
tidak dapat berdiri. Dengan segala cara dari berguling hingga melompat dengan
bantuan tangannya, Karamus menghindari serangan bola air. Dalam upaya Karamus
menghindari serangan tersebut, ia menemukan batang pohon yang sangat panjang
untuk menggapai benda bercahaya yang berada di tengah tubuh makhluk air
tersebut. Karamus segera mengambil batang kayu tersebut dan berlari sangat
cepat sambil mengarahkannya kepada makhluk air, tepat kepusat tubuh makhluk
penjaga hutan. Beberapa bola air mengenai Karamus saat ia berlari. Tanpa gentar
Karamus tetap berlari walau serangan itu sangat ia rasakan dan menyulitkan
pergerakannya menyerang makhluk air penjaga hutan dengan menggunakan batang
kayu. Akhirnya usaha Karamus – pun membuahkan hasil, batang kayu itu mengenai
tubuh makhluk air tepat dipusat benda bercahaya itu berada. Letupan cahaya
terpancar bersamaan dengan letupan air, Karamus melindungi wajah juga mata dari
kilau pancar cahaya yang menyilaukan matanya dan percikan air yang mengenai
wajahnya. Setelah letupan air dan cahaya berakhir, benda bercahaya yang berada
dari pusat tubuh makhluk air tersebut melayang di ketinggian. Perlahan – lahan
benda itu turun menghampiri Karamus.
Benda bercahaya itu ternyata gumpalan air yang
berbentuk segitiga, bercahaya sama persis dengan batu kotak bercahaya yang
diberikan makhluk batu. Ia menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan
terbuka. Setelah benda itu berada ditangannya, Karamus menyimpannya di dalam
wadah air minum yang ia bawa dan ia gunakan pada saat istirahat makan siang
tadi.
“Aku sungguh tidak menyangka akan sesulit ini
untuk melewati mahkluk penjaga hutan” Karamus menaruh kembali wadah air
minumnya ke dalam tas
“Selanjutnya apa lagi yang akan aku hadapi?! Lebih
baik aku tetap waspada karena masih ada satu rintangan lagi yang perlu dilewati”
serunya sambil melangkah melanjutkan perjalanannya. Karamus yang begitu
kelelahan setelah menghadapi mahkluk air, mulai kebingungan dengan arah mana
yang harus ia tuju. Rindangnya pohon dan lebatnya semak belukar membuat Karamus
lupa asal kedatangannya hingga sampai ditepi sungai.
“Sialan sekarang aku kebingungan dengan arah
perjalananku, mahkluk air tadi memang menyulitkan” gumam Karamus sambil terus
berjalan, pokoknya yang dia ingat adalah menyeberangi harus sungai tersebut.
Karamus terus berjalan menyusuri dipinggiran sungai, berharap ada jalan untuk
menyeberangi sungai. Sebongkah pohon besar yang sudah tumbang terlihat dari
kejauhan, pohon besar yang tumbang itu menjadi jembatan karena sisi ujungnya
berada di sisi lain dari sungai, dengan segera Karamus berlari mendekati pohon
itu dan mencoba menyeberangi sungai. Perlahan demi perlahan langkah Karamus
diatas pohon besar itu yang sedikit licin karena lumut dan cipratan air sungai.
Ia pun berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan perjalanan menelusuri hutan
Agramor yang semakin ke dalam seperti tidak berujung tapi Karamus tidak mau
menyerah begitu saja karena ia sangat bertekad menyelamatkan desanya yang
terserang wabah penyakit. Aneh… hembusan angin tiba – tiba menghilang dan udara
disekitar menjadi hampa, Karamus yang sedang berjalan pun mulai kesulitan untuk
bernapas “sesak sekali udara disini, aku tidak bisa bernapas” Karamus mengambil
kain dan menyiramkan air lalu ia gunakan untuk menutupi hidung dan mulutnya
agar udara yang ia hirup tidak terlalu kering dan memudahkannya untuk bernapas.
Karamus yang masih dalam bernapas terus melanjutkan perjalannya, beberapa kali
terlihat ia berhenti hanya untuk mengabil napas panjang dan kembali melanjutkan
perjalan. Ditengah – tengah perjalannya tiba – tiba angin berhembus dengan
kencang dan terdengar suara bising angin yang melewati sela – sela dalam hutan,
kain yang digunakan untuk bernapas – pun terbang di karenakan hembusan angin
yang begitu kencangnya. Suara itu terdengar seperti siulan yang besar dan penuh
gejolak hingga terasa menggetarkan detak jantungnya. Angin berhembus semakin
kencang hampir membuat Karamus terpelanting dibuatnya, dengan segala jerih
payah, Karamus melangkahkan kakinya ke depan yang terasa berat karena angin
menahan dan mendorongnya mundur tapi tetap tidak menghalangi tekadnya untuk
terus berjalan. Barang – barang hampir keluar dari dalam tasnya, secepat
mungkin tangan Karamus berusaha meraih kait tas untuk menutupnya jika tidak dia
bisa kehilangan dua kunci hutan Agramor yang telah ia dapatkan setelah
menghadapi penjaga hutan dan bahan
obat - obatan yang ia temukan dalam perjalanannya menjelajah hutan Agramor.
Angin tak kian berhenti bertiup begitu kencangnya, letih – pun mulai ia
rasakan, begitu kencangnya angin berhembus hingga membuatnya seperti tidak
bergerak sedikit pun. Tidak ada cara lain untuk melewati badai angin ini selain
terus melangkahkan kakinya ke depan. Cukup lama ia berjuang mengarungi badai
angin yang tak kunjung berhenti. Seketika saja angin membentuk pusaran yang
besar dihadapannya, dalam benaknya Karamus langsung terpikir kalau ini pasti
mahkluk penjaga hutan terakhir yang perlu dihadapi. Karamus pun terseret karena
tarikan pusaran angin itu, benda apapun dijadikan pegangan untuk menahan
tubuhnya dari tarikan pusaran angin tapi tarikan angin itu terlalu kuat hingga
ia terpelanting ke udara. Anehnya pada saat ia berada di udara tiba – tiba saja
pusaran angin itu berhenti dan lenyap seketika. Karamus pun terjatuh dari
ketinggian di udara mendarat menghantam tanah yang sangat keras, ia berusaha
bangkit sambil menahan sakit, menoleh kekanan, kekiri, kedepan, kebelakang
dengan waspada, untuk memastikan apa yang terjadi dan keberadaan makhluk itu.
Tidak ada tanda dari makhluk tersebut, Karamus
segera berlari untuk berlindung, takut – takut akan ada serangan dari makhluk
itu.
“Kemana makhluk itu pergi?! Apa benar tadi itu
makhluk penjaga hutan?!” seru tanyanya
Karamus sambil berlari mencari tempat berlindung
yang aman
kalau – kalau makhluk itu dating lagi. Tetapi tidak
ada satu – pun tempat yang aman dari angina, semua area yang ada hanya lapangan
terbuka yang sudah pasti tidak dapat melindunginya dari angin. Aneh sungguh
aneh tiba – tiba saja angin tidak berhembus dan udara sekitar seperti lenyap
begitu saja, Karamus merasakan kesulitan untuk bernapas. Rumput dan dedaunan
tidak ada yang bergerak karena tidak ada udara yang mengalir sedikitpun.
Karamus – pun terus berjalan menjauhi area tersebut dengan menahan napas karena
ia tau bahwa percuma saja ia bernapas karena tidak ada udara yang dapat dihirup
untuk membantunya bernapas. Makin lama kemampuannya menahan napas sudah diujung
batas, ia mulai merasakan pusing dan sedikit hilang kesadaran, matanya mulai
buram melihat sekitar
“Apakah ini akhir perjuangan ku?!” Tanya nya dalam
hati.
Karamus – pun pingsan tak sadarkan diri dalam
langkahnya menjauhi area tempat makhluk udara muncul.
Matahari bergerak hingga tenggelam dan Karamus
yang terlihat masih berbaring dalam ketidak sadarannya mulai membuka matanya
dikegelapan malam. Hari – pun sudah berganti, Karamus yang bangkit dari ketidak
sadarannya memegang leher bagian belakang sambil memijatnya seperti orang yang
sangat kelelahan.
“Dimana aku?!” sambil terhentak menoleh kekanan
dan kekiri, ia juga memeriksa tas – nya yang berisikan obat – obatan dan dua
kunci penjaga hutan Agramor
“Lama juga aku tak sadarkan diri, langit – pun
sudah gelap aku harus bergerak” lalu Karamus segera mencari batang kayu untuk
membuat api unggun yang dapat menghangatkan tubuhnya dan juga untuk memasak
karena ia – pun sudah mulai merasakan kelaparan. Setelah menyalakan api unggun,
ia baru tersadar kalau ia tidak bias berburu binatang di hutan ini atau dia
akan tersesat dan keluar dari hutan agramor sebelum ia berhasil mencapai ujung
hutan untuk menemukan pohon agramor yang dicarinya. Karamus akhirnya memutuskan
memakan biji – bijian yang ada
didalam tasnya, sambil mengunyah dan menatap kobaran api unggun ia terpikir
makhluk angin tadi yang hilang seketika, ia bertanya – tanya dalam benak mengapa
mengapa mahkluk itu menghilang dan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan
kunci udara dari penjaga hutan agramor. Malampun sudah semakin larut, Karamus
yang sedang berpikir mulai merasakan lelah dan mengantuk tapi ia harus
memastikan terlebih dahulu kalau tempat aman dari gangguan hewan – hewan buas
dan mahkluk udara penjaga hutan, ia memeriksa sekeliling sekitaran tempat api
unggun. Setelah ia yakin tempat itu aman, Karamus membuat tempat
beristirahatnya diatas pohon, dahan – dahan pohon yang besar dan kokoh
itu dijadikan topangan untuk merebahkan tubuhnya, perlahan matanya mulai
terpejam setelah menemukan posisi yang nyaman diantara dahan pohon.
“Baiklah kalau begitu sekarang waktunya kita
beristirahat juga” pak tua memotong cerita Karamus. Karamus – pun mengiyakan
“kamu dapat tidur diranjang satu lagi” seru pak tua kepadanya. Para cahaya
kecil mulai mengambil posisi tempat mereka masing – masing sambil menantikan
cerita malam yang selalu pak tua ceritakan sebelum mereka tidur.
Karamus yang mulai menata ranjangnya bersiap –
siap untuk beristirahat dan pak tua mulai dengan persiapannya sebelum bercerita
kepada para cahaya kecil, ia mengambil kursi, setelah terduduk ia mulai
membakar tembakau dari pipanya dan mulai siap untuk bercerita kepada para
cahaya kecil, lanjutan cerita tentang Ro dan Kipa sang penguasa petir dan awan.
Hembusan pertama dari pipa pak tua yang
mengeluarkan asap tebal dan ia memulai bercerita kelanjutan dari Ro dan Kipa.
Para cahaya kecil mulai bersemangat dan tidak sabar menunggu kelanjutan
ceritanya. Karamus yang sudah berada ditempat tidurnya, menanti – nanti apa
yang akan diceritakan oleh pak tua kepada para cahaya kecil, karena ia belum
pernah mendengarnya, Karamus dengan seksama menantikan cerita dari pak tua.
Setelah hembusan tembakaunya pak tua mulai
bercerita “kalian masih ingat cerita terakhir yang saya sampaikan?” Tanya pak
tua kepada para cahaya kecil dan para cahaya kecil bereaksi seolah mereka
menjawab kalau mereka masih mengingatnya dan pak tua tersenyum sambil berkata
“baiklah…” Karamus begitu antusias atau lebih kepada penasaran akan cerita apa
yang pak tua ingin ceritakan.
Pak tua memulai dengan berkata “kalian ingat
terakhir kali bahwa Ro dan Kipa sedang terjebak dalam reruntuhan dinding batu –
batu goa, dimana itu terjadi setelah salah satu dari mereka menyentuk kolam
cahaya, reruntuhan dinding goa tidak ada yang mengenai mereka, akhirnya mereka
kembali menghampiri kolam cahaya” “Ayo… kita kembali ke kolam cahaya” seru Ro
kepada Kipa. Sebenarnya Kipa masuh merasakan kekhawatiran untuk kembali kesana
tetapi karena melihat Ro yang begitu yakin dan sangat tenang, akhirnyaKipa
mengikuti Ro menuju kolam cahaya.
Kipa begitu berhati – hati dengan reruntuhan
dinding goa karena takut akan keselamatan Ro, bila ada sesuati kejadian yang
tidak diharapkan, tetapi Ro sendiri dengan ketenangannya terus berjalan menuju
kolam cahaya. Kipa – pun mengikuti Ro dengan berada disampingnya. Sesampainya
mereka disan, kolam cahay itu masih menyemburkan airnya ke langit dan air kolam
itu tetap mengeluarkan warna – warnanya, Ro mencoba untuk masuk kedalam letupan
air kolam cahaya. Kipa yang melihatnya begitu khawatir dengan keselamatan Ro.
Pada saat Ro berada dalam tengah – tengah luapan
air kolam cahaya, seketika itu pula Ro terangkat ke atas menuju langit. Kipa
hanya memperhatikan Ro yang sedang terangkat oleh luapan air kolam cahaya,
dengan memberanikan diri Kipa mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Ro, dia –
pun juga terangkat ke atas langit melalui letupan kolam cahaya.
Ro yang terangkat ke langit pandangannya terus
memperhatikan keatas sedangkan Kipa yang juga terangkat keatas terus
memperhatikan sekujur tubuhnya dengan perasaan mengapa cahaya ini dapat
mengangkatnya dan begitu penasaran apakah cahaya ini dapat membawanya menembus
kubah langit sambil berteriak menyerukan nama Ro. Ro yang mendengar teriakan
Kipa menundukan kepalanya unruk melihat Kipa yang terus memanggil namannya “
Kipa, kita akan berhasil menembus kubah langit, jangan khawatir!” seru Ro
kepada Kipa dengan begitu yakin. Sesampainya mereka dilangit, mereka melayang
seperti berada didalam air. Langit terlihat gelap tapi diterangi benyaknya
cahaya – cahaya kecil, Kipa yang tidak terbiasa dengan kondisi seperti ini sedikit
merasa kesulitan bergerak bahkan terlihat panic sedangkan Ro sangat begitu
menikmati, Ro melihat Kipa yang kesulitan bergerak mengahpirinya “Kipa, tenang!
Gerakan tubuhmu seperti kamu sedang berenang di sungai tempat kamu sering
memandikanku” Kipa-pun mulai mencoba menenangkan dirinya dan perlahan demi
perlahan ia berhasil menguasai pergerakan tubuhnya, ia–pun mulai menikmati “Aku
bisa!” ujar Kipa kepada Ro, Ro tersenyum dan bergerak mengitari Kipa, mencoba
menggodanya untuk bergerak lebih bebas “Ini terasa seperti mengambang didalam
air, ayo bergeraklah sesukamu, Kipa!” mereka sangat menikmatinya “Kita berhasil
menembus langit, Kipa” “Ya, aku sungguh tidak menyangkanya, ini seperti mimpi
bagi ku yang tidak pernah terbayangkan oleh ku sebelumnya. Ro, apa kamu melai
mengingat sesuatu akan dirimu yang dating dari langit?” “Tidak Kipa.. buat ku
ini terasa seperti pertama kalinya aku berada di langit, aku masih tidak
mengerti dari mana aku berasal, sekarang aku hanya menikmati keberhasilan kita
menembus langit” Kipa yang mendengarkan ucapan Ro mulai menikmati petualangan
mereka yang sudah berhasil sampai ke langit, sebagai makhluk bumi yang
memimpikan dapat pergi ke langit dan berhasil membuatnya merasa bahagia. Mereka
berputar – putar dan bercanda menikmati suasana di langit. “Kipa, ayo.. kita
hampiri benda – benda langit yang
bercahaya itu!” Kipa dengan senang hati mengikuti Ro menuju benda – benda kecil
bercahaya itu, bersama – sama mereka melesat dengan cepat menuju cahaya –
cahaya kecil yang begitu banyaknya, mereka menghampiri dan memandangi cahaya –
cahaya kecil itu yang berpijar begitu indah “Lihat! Mereka banyak sekali dan
memiliki warna yang berbeda – beda” ujar Kipa, Ro yang begitu semangat bergerak
dengan cepatnya menghampiri satu persatu cahaya itu.
Pada waktu yang bersamaan di bumi negri Leophotus.
Asa makhluk bayangan yang dikirim oleh ibu pohon untuk melihat dan memastikan
keadaan Ro dan Kipa baik – baik saja, berhasil mencapai mulut goa, ia mulai
menyisiri jejak Ro dan Kipa yang memasuki goa hingga Asa berada di kolam cahaya
dan melihat letupan kolam cahaya yang menjulang tinggi menuju langit. Hasrat
yang begitu besar ingin bisa mencapi langit sudah menjadi impian Asa dan para
penduduk negri Leophptus, bagi Asa bisa mencapai langit suatu hal yang sangat
istimewa karena ia ingin sekali menjadi satu dengan gelapnya malam, hampir
setiap malam Asa selalu memandangi langit sambil membayangkan menjadi kegelapan
yang luas, tak terbatas dan di hiasi pijar cahaya kecil. Asa mencoba medekatkan
diri dengan letupan kolam cahaya untuk menyusul Ro dan Kipa menuju langit tapi
sayangnya ia tidak bisa karena setiap kali Asa berada didalam letupan kolam
cahaya dirinya menhilang, itu dikarenakan Asa adalah makhluk bayangan yang
dimana pada saat ia berada didalam kepekatan cahaya maka ia tak terlihat.
Hidupnya masih terasa keberadaanya tetapi hilang wujud dirinya.
-BERLANJUT-